Rabu, 13 Maret 2013

Anak Yang Tidak Diharapkan (Prolog)

PROLOG
Mei, 1993
         “Tuhan, aku harus bagaimana? Semakin hari, anak ini tumbuh didalam rahimku. Aku tidak sanggup merawatnya, jika ia harus datang kedunia ini. Maafkan aku Tuhan, aku benar-benar orang bedosa. Tak pantas aku merawat ia kelak. Aku pun bingung, siapakah ayahnya? Doni tidak ingin bertanggung jawab, karena dia menganggap anak dalam kandunganku, bukanlah anak dia. Tuhan, maafkan aku, aku harus melenyapkan anak ini. Daripada ia menderita didunia ini.”
            Savana menutup diarynya dan menghapus air matanya. Ya, gadis muda berusia 18 tahun ini sedang mengandung anak pertamanya. Entah bapaknya siapa, Savana tidak tahu. Harus diakui, Savana hanyalah wanita penghibur di klub malam terkenal di Bandung. Gadis belia ini diusir oleh keluarganya, karena mereka tidak bisa menerima keberadaan janin itu. Savana hanya luntang-lantung mencari tempat perlindungan, agar terbebas dari sengatan matahari, dan semburan hujan. Sambil mengelus perutnya yang semakin lama semakin besar, Savana menangisi nasibnya yang buruk. Savana tinggal di rumah majikan kaya raya, dan Savana mengaku sudah memiliki suami. Selain kaya raya, majikannya sudah 5 tahun menanti seorang anak, tetapi tak kunjung memiliki anak.
“Savana, kemarilah.” Kata Caroline, majikannya.
“Ya, nyonya ada yang bisa saya bantu?”
“Savana, saya ingin bertanya padamu, boleh tidak?”
“Jika saya bisa menjawab, saya akan menjawabnya dengan baik, nyonya”
“Bagaimana kamu bisa cepat hamil? Kamu bilang, kamu menikah 1 tahun yang lalu ya?”
“Mungkin saat itu saya sedang dalam masa subur, nyonya, jadinya cepat hamil.” Kata Savana lirih.
“Apakah hamil itu enak?” tanya Caroline sambil tertawa renyah. Savana hanya bisa tersenyum menanggapi jawaban sang majikan.
“Nyonya jika anda tahu saya hamil diluar nikah, pasti anda mengusir saya dari rumah ini. Yang saya butuhkan sekarang hanyalah tempat perlindungan.” Kata Savana dalam hati, sambil berlalu dari majikannya.
            Semakin Savana merasa kandungannya baik-baik saja, semakin Savana takut. Ia berharap anak dalam kandungannya mati tanpa harus dibunuh. Kesana kemari Savana mencari informasi tentang klinik aborsi, dan ia mendapatkan beberapa alamat klinik tersebut. Dari satu klinik ke klinik yang lain ia menelusuri tempat itu. Dengan uang seadanya, ia berharap ada klinik yang memberikan harga murah pada saat itu. Tetapi saat itu, harga untuk aborsi janin sangat mahal. Selain tenaga medisnya masih sedikit, alat medisnya juga belum terlalu memadai. Akhirnya Savana memutuskan untuk mencari obat tradisional yang murah, mulai dari artikel ilegal sampai bertanya pada teman-temannya yang seprofesi. Rasa frustasi, marah, malu, benar-benar campur aduk dihati serta pikirannya saat ini.
            Sebulan telah berlalu, dan Savana tidak bisa menemukan titik terang untuk menghilangkan aibnya. Entah apa yang harus ia lakukan. Ke klinik aborsi, ia tidak memiliki biaya yang cukup, mencari dukun beranak ia takut mati muda, akhirnya dengan ragu-ragu ia memutuskan untuk mengunakan cara-cara yang kuno. Mulai dari makan nanas muda, lalu mencoba minum ramuan tradisional, bahkan sampai menegak obat-obatan kimia.
“Maafkan ibumu nak, mulai sekarang dirimu diusik oleh benda-benda dan obat-obatan asing.”
Tetapi aneh, apapun yang dilakukan Savana, bayi yang ada didalam kandungan itu tidak bergeming, bahkan mungkin tidak mati! Semakin Savana memberikan obat-obatan, minum ini itu dan lain-lain semakin kuat anak itu dirahimnya. Savana semakin takut. Semakin bingung harus bagaimana ia mengugurkan anak ini. “Nak, tolong lah, jangan buat ibumu makin kesal pada dirimu! Kenapa kamu selalu membuat ibu bingung, frustasi, dan marah!”
“Savana!” panggil Caroline.
“Iya nyonya, ada apa”
“Kenapa matamu sembab, Savana?” tanya Caroline bingung.
“Gak apa-apa nyonya.”
“Apa ada masalah?”
“Tidak ada nyonya.”
“Baiklah kalau begitu. Semoga kamu tidak sedih lagi ya? Bagaimana keadaan kandunganmu? Baik-baik sajakah?”
“Sepertinya baik nyonya.”
“Loh, kok sepertinya? Memang ada apa dengan kandunganmu?”
“Tidak ada apa-apa, nyonya.”
“Ya sudah, lebih baik sekarang kamu istirahat. Daripada kamu seperti ini. Semoga besok perasaanmu lebih baik ya.”
Savana hanya mengangguk, lalu kembali ke kamarnya. Sesampainya dikamar, Savana kembali menangis. Entah sekarang harus melakukan apalagi. Semua cara sudah ia lakukan, tetapi tidak berhasil. Sepertinya tendangan kaki mungil itu semakin hari semakin kuat. Mungkin untuk beberapa saat, lebih baik Savana tidak memikirkan kandungannya. Walaupun ia menanggung beban besar, ia yakin akan mendapatkan jalan terang untuk kehidupannya.
            Suatu hari, dipagi yang cerah, Savana menemukan artikel yang membahas tentang tata cara aborsi. Semua yang tertera diartikel tersebut sudah Savana lakukan, tetapi ada yang membuat Savana mendapatkan ide brilian. Saat itu kandungannya sudah berusia 8 bulan, sudah tumbuh segala-galanya didalam si jabang bayi. Tetapi Savana tidak menghiraukan kandungannya itu. Dengan modal nekat, Savana masuk ke kamar mandi, dan  memijit-mijit perutnya yang sudah besar. Rasa sakit bercampur, tapi Savana tetap nekat membunuh anak dalam kandungannya. Rintihan sakit yang keluar dari bibirnya tidak bisa dihindari, maka Caroline curiga dengan suara itu.
“Savana? Savana?” panggil Caroline
Tidak ada jawaban sama sekali dari kamar mandi itu. Caroline sangat panik, dan akhirnya ia menghampiri kamar mandi itu, dan mengetuk-ngetuk kamar mandi itu.
“Savana! Buka! Ada apa dengan diri kamu?”
“Boni! Boni! Tolong gebrak pintu ini, sayang!” Teriak Caroline pada suaminya.
Boni pun dengan sigap menggebrak pintu kamar mandi itu, dan melihat Savana pingsan. Caroline panik dengan kejadian ini, dan segera memanggil Elena, kakaknya seorang bidan. Savana dibawa ke kamar utama, dan Elena memeriksa kandungan Savana.
“Dia mau mengugurkan kandungannya, Carol. Padahal usia kandungannya sudah 8 bulan!”
serentak semua yang ada di kamar itu kaget semua. Dan Caroline pingsan seketika.

Beberapa hari setelah kejadian itu..
Caroline membawa segelas teh hangat dan semangkuk bubur untuk Savana. Dengan keadaan perut semakin membesar dan wajahnya yang kuyu, Savana hanya bisa tersenyum tanda terima kasih kepada majikannya. Savana tahu sekarang majikannya sedang bertanya-tanya mengapa sampai terjadi seperti ini, tetapi Savana belum siap untuk memberikan penjelasan pada majikannya yang baik ini. Caroline sadar, bahwa Savana belum mau membicara hal ini, dengan pengertian yang sangat mendalam, akhirnya Caroline meninggalkan kamar itu. Lalu dengan terburu-buru Savana mengambil buku diarynya dan kembali menulis isi hatinya.

Juni, 1993
“Nyonya, aku belum berani berkata jujur padamu. Karena aku masih butuh uang dan tempat tinggal. Sebenarnya, jika anak dalam kandunganku gugur, aku bisa saja keluar dari rumah ini, dengan perasaan bahagia tanpa beban seperti sekarang. Entah, aku dengar usia kandunganku sudah mncapai 8 bulan. Hebat sekali ia. Sudah aku sakiti tetap saja dia bertahan didalam rumahnya.”

Savana kembali menutup bukunya, dan mencoba istirahat kembali. Melupakan sejenak beban yang menghantam dirinya.
            Sore harinya Caroline kembali lagi ke tempat Savana dengan membawa teh hangat dan sepiring nasi goreng buatannya. Ingin sekali Caroline bertanya soal kejadian itu, tapi sepertinya hanya tinggal keinginan belaka saja. Caroline menatap dalam mata Savana, ingin mencari tahu apa yang dipikirkan Savana, tetapi tdak mendapatkan titik terangnya juga. Savana tahu akan hal itu, dan akhirnya ia berusaha menjelaskan isi hati dan pikirannya.
“Nyonya, saya tahu anda ingin sekali minta penjelasan pada saya tentang hal ini, tetapi saya tidak tahu harus mulai darimana?”
Caroline tidak berkomentar, ia hanya diam dan menanti pembicaraan Savana selanjutnya.
“Sejujurnya anak yang saya kandung adalah hasil dari.. Dari lelaki entah yang mana, nyonya. Dulu sebelum saya menjadi pembantu, saya adalah wanita penghibur hanya demi sesuap nasi untuk bapak dan ibu saya. Tetapi mereka tidak tahu profesi saya. Sampai pada akhirnya atasan saya alias germo datang ke rumah saya untuk menyuruh saya bekerja lagi, karena di tempat hiburan, saya lah yang paling laku. Tetapi saat itu saya sudah tahu bahwa saya sedang mengandung. Ibu saya sempat bertanya siapa orang itu, dan orang itu menjawab, ia adalah germo. Ibu langsung marah dan melemparkan uang hasil keringat saya ke germo itu, dan saya hampir di usir. Saya panik, nyonya. Semenjak itu saya tidak menjadi wanita penghibur. Tetapi makin hari, anak ini makin tumbuh. Dan saya minta pertanggungjawaban darimana, karena saya tidak tahu siapakah yang menghamili saya. Saya sungguh panik, tiap pagi hari saya menahan rasa mual, tetapi akhirnya muntah-muntah. Belum lagi mencium bau yang tidak sedap, yang akhirnya membuat ibu saya curiga. Karena ibu saya sudah tahu profesi saya, maka saya diusir dengan paksa oleh keluarga saya.”
Caroline kaget dengan pengakuan Savana, dan bingung mulai berkomentar darimana.
“Nyonya, saya siap diusir jika nyonya tidak sudi menerima saya sebagai pembantu lagi. Maafkan saya, karena harus berbohong pada nyonya. Betapa beberapa bulan ini saya menanggung dosa yang sungguh berat. Saya tahu, dengan cara menggugurkan si jabang bayi, saya tambah berdosa, tetapi saya ingin bertemu dengan keluarga saya.”
Caroline hanya tersenyum dan meninggalkan kamar Savana. Savana memaklumi majikannya tersebut.
            “Begitulah ceritanya, Elena. Kamu tahu sendiri kan, aku sungguh menanti momongan. Apalagi sudah lima tahun aku menunggu momongan. Apa lebih baik bayinya Savana kita adopsi saja?” kata Caroline menggebu-gebu.
“Carol, asal kamu tahu saja, adopsi itu tidak mudah. Apalagi di negara kita.” Jawab Elena singkat.
“Tapi anak itu bisa jadi berkat dalam kehidupan rumah tangga aku dan Boni, Elena. Mengertilah”
“Apakah Savana ingin memberikan anaknya padamu? Jika dia mau memberi, ya aku dukung niat baikmu Carol. Daripada anak itu ditelantarkan begitu saja”
“Kita tanyakan saja pada Savana” jawab Boni santai.
Malam harinya Caroline masuk ke kamar Savana dan kembali dengan muka yang berseri-seri penuh dengan harapan. “ Savana, kandunganmu hampir memasuki sembilan bulan. Bagaimana kalau anak ini saya jadikan anak saya? Daripada kamu bunuh anak tidak berdosa ini”
“Baik nyonya. Saya akan lebih senang jika ada yang mau merawat anak ini daripada saya bunuh. Saya tidak mau lagi menambah dosa.” Kata Savana dengan penuh harapan.

Akhirnya, waktunya sudah tiba. Dan inilah saat-saat yang ditunggu oleh Caroline dan keluarganya. Savana mengalami kontraksi dari tadi siang, dan sekarang mengalami pembukaan terakhir. Tepatnya pada pukul dua subuh, bayi perempuan mungil keluar dari rahim Savana, dengan dibantu oleh Elena. Saat itu tanggal 30 Juli 1993.